Minggu, 26 Januari 2014

MINAT BACA MEMPRIHATINKAN, ADA APA DENGAN PERPUSTAKAAN NEGERI INI


ADA APA DENGAN PERPUSTAKAAN NEGERIKU
(WHERE ARE YOU…?)
Oleh : Ir. Agrend Wisnu Kusuma

Perpustakaan adalah gudang ilmu generasi bangsa dan Sekolah/Kampus adalah pintunya menuntut ilmu anak negeri.  Perpustakaan adalah salah satu aset investasi bangsa dalam memajukan dunia pendidikan Indonesia dimanapun berada dan sekecil apapun jasa pelayanannya.   Sudahkah kita berkaca dan terus berefleksi untuk berkomitmen memperbaiki wajah pendidikan negeri seribu pulau ini.   Salah satu penyebab mendasar kemunduran kualitas pendidikan kita adalah kurangnya minat baca rakyat Indonesia.    Minat baca selama ini menjadi salah satu masalah besar bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, saat ini minat baca masyarakat Indonesia termasuk terendah di Asia. Ironi memang. Saya yakin dan Anda pasti sepakat bahwa sudah banyak tulisan para pakar pendidikan yang mengulas tentang fenomena  ini sebelumnya.
Indonesia hanya unggul di atas Kamboja dan Laos. Padahal semakin rendah kebiasaan membaca, penyakit kebodohan dan kemiskinan akan berpotensi mengancam kemajuan dan eksistensi bangsa ini. Parahnya lagi, rendahnya minat baca bukan hanya terjadi pada masyarakat umum, tetapi juga para pelajar di SD, SMP, SMA, bahkan mahasiswa di perguruan tinggi pun tingkat minat baca relatif rendah. Bahkan kejadian tahun 2013 kemarin, salah satu Perpustakaan PTN terbaik negara ini menjadi ajang korupsi oknum tertentu di lingkungan pejabat civitas akademika setempat.  Ada apa dengan Perpustakaan negeri ini?
Perpustakaan Nasional menyatakan minat atau budaya membaca buku di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil atau desa-desa hingga saat ini masih rendah atau kurang menggembirakan. "Belum menggembirakan ini salah satunya bukan karena tidak minat, melainkan ketersediaan buku yang bisa merangsang mereka untuk membaca juga kurang," kata Kepala Pusdiklat Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Gardjito saat menjadi pembicara dalam talk show di festival budaya pustaka yang digelar di Kebun Bibit Bratang Surabaya, Sabtu.  Selain itu, lanjut dia, masyarakat Indonesia lebih kuat pada budaya lisan dari pada budaya membaca. "Apalagi saat ini ada budaya mendengar," katanya.   UNESCO pada 2012 mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen (Sumber Kutipan Republika, 2 November 2013).
Jika kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Malasyia, Thailand dan Filipina saja, kok rasa-rasanya minat baca anak negeri masih relatif dibawah mereka, hal ini bisa dilihat dari kualitas output pendidikan SDMnya dan kuantitas daya serap tenaga kerja asing (TKI/TKW) di berbagai perusahaan favorit di luar negeri. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara termaju di Asia seperti Jepang maka hal tersebut sangat bertolak belakang dengan iklim pendidikan di Jepang yang semakin cepat dan penuh inovasi dalam berkarya. Saat ini tentu kita sudah melihat bagaimana kemajuan perkembangan iptek di Jepang. Semua itu disebabkan karena pemerintah Jepang sangat memprioritaskan kebutuhan bahan bacaan masyarakatnya, terutama anak-anak sekolah dan mahasiswa, sehingga tak mengherankan jika perpustakaan, terutama di kampus-kampus Jepang, selalu ramai dikunjungi mahasiswa.
Berbeda dari kondisi perpustakaan kampus di Indonesia, perpustakaan kampus tak lebih hanya sebagai tempat penyimpanan dan pajangan berbagai koleksi buku dan bahan referensi lainnya. Jika tugas mahasiswa sudah menumpuk dan dikejar deadline, barulah pengunjung perpustakaan mulai bertambah, itupun belum signifikan.  Lebih ironis lagi, perpustakaan kampus sering dijadikan sebagai tempat untuk pacaran, bukan tempat membaca dan berdiskusi. Sebagai seorang mahasiswa dan calon ilmuwan, perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang paling dicari, terutama dalam mencari referensi untuk membuat atau menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.  Faktor yang menjadi peyebab sepinya perpustakaan, selain minat baca mahasiswa yang menurun, juga karena perpustakaan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dengan tidak memenuhi kebutuhan mahasiswa. Untuk memenuhi kebutuhan tugas-tugas kuliah, mahasiswa seringkali lebih memilih cara instan, yaitu mencari bahan penunjang belajar di internet.  Oleh karena itu, sudah menjadi tantangan besar dan kewajiban perpustakaan kampus dan lainnya untuk menyusun program-program yang atraktif, inovatif, spektakuler dan kompetitif kedepannya agar lebih baik.
Coba kita tengok dan perhatikan dengan seksama lingkungan di sekitar kita.  Mengapa tempat – tempat hiburan seperti Mall, Café & Resto, diskotik, warnet, bioskop, panggung musik hiburan dan masih banyak lagi lainnya lebih banyak disukai oleh masyarakat kita khususnya para pelajar  dan kaum muda-mudi.  Tempat tersebut adalah ajang favorit dengan berbagi motif dan harapan yang berbeda-beda.  Sementara perpustakaan di tingkat provinsi, daerah, kampus dan sekolah bahkan sampai perpustakaan pedesaan masih relatif sepi pengunjung dan peminat.  Kecuali Perpustakaan keliling yang bertugas khusus mensuplai dan memfasilitasi kebutuhan minat baca anak jalanan dan kurang mampu di berbagai pelosok tanah air. Oleh karena itu kabinet pemerintahan  dan seluruh elemen cendekia  pendidikan di negeri ini segera siaga, reformasi startegi,  dan riil action.  Jika perlu, kabinet ini menetapkan Hari Minat Baca Nasional sebagai wujud gerakan awal bersama ke seluruh penjuru tanah air menuju kebangkitan kecerdasan anak bangsa.
Mengapa minat baca mahasiswa rendah? Menurut (Arixs: 2006) ada enam faktor penyebab: (1) Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat mahasiswa harus membaca buku, (2) banyaknya tempat hiburan, permainan, dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian mereka dari membaca buku, (3) budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita, sedangkan budaya tutur masih dominan daripada budaya membaca, (4) sarana untuk memperoleh bacaan seperti perpustakaan atau taman bacaan masih merupakan barang langka, (5) tidak meratanya penyebaran bahan bacaan di berbagai lapisan masyarakat (6) serta dorongan membaca tidak ditumbuhkan sejak jenjang pendidikan praperguruan tinggi.
Perpustakaan sesungguhnya memainkan peranan penting bagi terciptanya budaya membaca bagi mahasiswa. Perpustakaan merupakan jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan, dapat memberikan kontribusi penting bagi terbukanya akses informasi, serta menyediakan data yang akurat bagi proses pengambilan sumber-sumber referensi bagi pengembangkan ilmu pengetahuan. Dan semua itu hanya bisa di dapatkan dengan cara membaca.  Oleh sebab itulah, perpustakaan kampus hendaknya didesain sedemikian rupa supaya mahasiswa dan civitas academika lebih betah berada di sana. Perpustakaan harus mampu memenuhi dahaga para mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan dengan empat cara.

Pertama, menambah sarana dan prasarana perpustakaan, seperti adanya fasilitas dan jaringan internet atau wi-fi, memperbanyak ruang diskusi, dan memperbaiki ruang bacaan. Jika hal ini dapat diwujudkan, tentu akan menarik perhatian mahasiswa berkunjung ke perpustakaan. Dan sepertinya sudah banyak dijalankan oleh PTN dan PTS favorit di Indonesia akhir-akhir ini.

Kedua, memberikan pelayanan yang baik, ramah, dan bersahabat. Hal ini sangat penting mengingat para pengunjung adalah mahasiswa yang berpendidikan. Jadi jika ada pelayanan dari petugas yang kurang baik dan kurang memuaskan tentu mereka akan protes dan kurang nyaman dalam menggunakan fasilitas perpustakaan. Tingkatkan dan fasilitasi kotak kritik dan saran di perpustakaan.

Ketiga, tersedianya koleksi buku yang memadai. Koleksi bahan bacaan (buku atau literarur) merupakan komponen yang paling penting bagi perpustakaan. Koleksi yang harus dimiliki oleh perpustakaan minimal adalah buku wajib bagi setiap mata kuliah yang diajarkan dan jumlahnya harus memadai. Menurut SK Mendikbud 0686/U/1991, setiap mata kuliah dasar dan mata kuliah keahlian harus disediakan dua judul buku wajib dengan jumlah eksemplar sekurang-kurangnya 10 % dari jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut.

Keempat, menciptakan iklim membaca di kampus. Lingkungan akademik yang kondusif akan mendorong mahasiswa untuk rajin ke perpustakaan. Hal itu bisa dilakukan, misalnya dengan cara dosen memberikan tugas membaca bagi mahasiswanya.

Jika perpustakaan dapat memberikan layanan yang baik dalam berbagai aspek dan menyediakan berbagai kebutuhan literatur yang dibutuhkan, maka mahasiswa akan banyak mendatangi perpustakaan. Lingkungan yang demikian memang tidak bisa diciptakan sendirian oleh perpustakaan, melainkan harus bekerja sama dengan seluruh warga kampus.  Mari bergerak selamatkan minat baca anak bangsa melalui optimalisasi peran dan fungsi perpustakaan yang ideal dan berbasis teknologi modern.Semoga.  (AWK 14).

Presented by Laskar Galileo Bogor





Tidak ada komentar:

Posting Komentar