Profil Tokoh Syeikh Abdul Qadir Jaelani
Abdul Qadir Jaelani atau Abd
al-Qadir al-Gilani[1][2]
(bahasa
Kurdi: Evdilqadirê Geylanî, bahasa
Persia: عبد القادر گیلانی, bahasa Urdu:
عبد القادر آملی گیلانی
Abdolqāder Gilāni) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat
dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme. Ia lahir
pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M[3]
selatan Laut
Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Ia wafat pada
hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul
akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561
H/1166 M.
Ia adalah orang Kurdi[4]
atau orang
Persia.[5]
Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum
Muslim dari anak benua India.[6]
Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam.
Nama Abdul Qadir Jaelani juga dilafalkan Abdulqadir Gaylani,
Abdelkader, Abdul Qadir, Abdul Khadir - Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani,
Gilani, Al Gilani, Keilany.
bnul Imad menyebutkan bahwa nama lengkap syekh ini adalah
Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin
Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin
Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib
Al-Jailany.[7]
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran
al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu
bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat
kedua lebih dipercaya oleh ulama.[8]
Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha, melalui ayahnya sepanjang 14 generasi
dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman
Jami memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham sebagi
berikut: "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal
sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang
tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu".[8]
Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut: Dari Ayahnya(Hasani):[8]
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya
az-Zahid bin Muhammad Al Akbar bin Dawud
bin Musa
At-tsani bin Abdullah
Tsani bin Musa
al-Jaun bin Abdullah Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini):[8]
Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah 'Atha bin Mahmud bin
Kamaluddin Isa bin Abi Jamaluddin bin Abdullah Sami' Az-Zahid bin Abu Ala'uddin
(ﻋﻼﺀﺍﻟﺪﻳﻦﺍﻟﺠﻭﺍﺩ) bin Ali Ridha
bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra
binti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi Wassalam
Biografi
Masa Muda
- Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti
al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil
Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni.
Perkataan Ulama tentangnya
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu
bulan sembilan hari. Kesempatan ini
digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau
meninggal dunia.[9]
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul
Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap
kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia
senantiasa menjadi imam
dalam salat fardhu."
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al
Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid,
sifat-sifat Allah,
takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai
dengan sunnah."
Karya karyanya: [8]
- Tafsir Al Jilani
- al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
- Futuhul Ghaib.
- Al-Fath ar-Rabbani
- Jala' al-Khawathir
- Sirr al-Asrar
- Asror Al Asror
- Malfuzhat
- Khamsata "Asyara Maktuban
- Ar Rasael
- Ad Diwaan
- Sholawat wal Aurod
- Yawaqitul Hikam
- Jalaa al khotir
- Amrul muhkam
- Usul as Sabaa
- Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan
nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan
lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap
orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata
kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku
timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa
tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat
menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan
perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada
orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan
dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan
membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut.
Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang
tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan
menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali
radhiallahu 'anhum.
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir
berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan
diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke
Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan
karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya"
kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan
dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan
agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan
engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya
adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku
yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke
Baghdad dan mulai berceramah.
Hubungan Guru & Murid
- Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
- Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
- Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
- Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
- Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
- Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
- Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang
dinisbatkan kepadanya dikatakan: Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri
seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir,
mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan
ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya
sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid
mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang
syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits,
dia tidak pantas untuk diikuti.
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit
hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah
kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi
sakaratul maut".
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang
syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid)
jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada
masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir
menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang
Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya pada tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul
Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M).
Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206
M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar