Kisah Sukses-6 :
Irwan Hidayat & PT. SIDO MUNCUL (2)
KEPERCAYAAN, Kata yang kini menjadi acuan setiap rencana
dan langkah yang diambil oleh Irwan Hidayat (57), Direktur Utama PT Sido
Muncul. Membangun kepercayaan itulah yang kini menjadi motivasinya dalam
mengembangkan industri jamu yang telah dirintis oleh neneknya, Ny. Rakhmat
Sulitio, sejak tahun 1951.
Sebagai generasi ketiga yang dipercaya untuk melanjutkan
bisnis keluarga, Irwan tidak bisa hanya melanjutkan begitu saja tradisi yang
telah terbangun di perusahaan. Situasi dan kondisi zaman yang dihadapi telah
jauh berbeda, begitu pula tuntutan konsumen terhadap produk yang dihasilkan.
Keadaan itu yang memacunya mencari terobosan-terobosan baru untuk mengangkat
"gengsi" jamu agar dapat setara dengan obat, atau setidaknya menjadi
pengobatan alternatif yang teruji keabsahan dan keilmiahannya.
"Semua dimiliki oleh jamu, ribuan spesies tanaman
obat ada di Indoensia, ahli pembuat jamu banyak. Yang tidak dimiliki industri
jamu adalah kepercayaan. Kepercayaan konsumen itu yang harus kita bangun,"
kata Irwan, yang pernah bekerja di perusahaan farmasi sebelum menggeluti
industri jamu.
Jika pabrik farmasi punya dokter sebagai partner,
obat-obatan dari Cina punya sinshe sebagai pengobat, namun tidak demikian
dengan jamu. Tidak ada pengobat yang dapat menjadi partner bagi industri jamu
untuk "memasarkan" produknya. Ketiadaan pengobat ini yang harus
diatasi oleh industri jamu, yaitu dengan membangun kepercayaan publik bahwa
jamu juga punya kredibilitas dalam hal kebersihan, uji toksisitas (tingkat
peracunan-Red), dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh obat.
Untuk itu, terobosan harus dilakukan. Tahun 1997, saat
banyak industri terseok-seok menghadapi badai krisis yang melanda Indonesia, PT
Sido Muncul justru mencanangkan pembangunan pabrik de4ngan sertifikasi industri
farmasi, dan laboratorium yang terstandarisasi sebagai laboratorium farmasi.
Di areal seluas 32 hektar dibangun laboratorium seluas
3.000 meter persegi dengan biasa 2,5 miliar rupiah, dan pabrik seluas tujuh
hektar, termasuk pabrik mi. kini di areal itu juga dikembangkan sarana
agrowisata seluas 1,5 hektar. "Modalnya nekat. Ketidaktahuan justru
menyelamatkan saya. Saat itu saya tidak punya utang dolar AS. Tetapi, karena
tidak tahu, dari 15 miliar rupiah yang dianggarkan, biaya pembangunan pabrik membengkak
sampai 30 miliar rupiah," kata Irwan.
Kenekatan itu kini membuahkan hasil. Tahun 2000
Departemen Kesehatan memberikan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
kepada PT Sido Muncul, padahal selama ini industri jamu hanya mendapatkan
sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). "Kini kami
siap menghadapi persaingan global," tekad Irwan.
DISADARI, pasar jamu di Indonesia sangat kecil, hanya
sekitar 2 triliun rupiah per tahun yang diisi oleh 650 pabrik jamu. Untuk itu,
harus ada upaya mengembangkan pasar, baik di dalam negeri maupun menjangkau
pasar luar negeri. Irwan berkeras hati untuk bisa masuk ke pasar China, meski
diakui hal itu tidak mudah karena Pemerintah China sangat melindungi industri
obat-obatan tradisionalnya.
"Kami sudah masuk ke pasar Hongkong, kami akan
berusaha agar bisa menembus China. Kita harus buktikan kalau produk kita lebih
baik dari yang mereka punya. Itu tidak hanya akan mempermudah kita masuk ke
negara-negara lain, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pasar di dalam
negeri," kata Irwan yang meyakini hanya yang bisa melakukan terobosan yang
akan dapat bertahan dan berkembang.
Sementara, untuk memperluas pasar di dalam negeri,
dilakukan diversifikasi produk dengan mengembangkan produk "brand",
yaitu minuman dalam bentuk serbuk. Potensi di pasar minuman kesehatan ini masih
terbuka luas, dan pemainnya masih terbatas, tidak sehiruk-pikuk jamu. Di sisi
lain, pabrik yang dibangunnya adalah pabrik farmasi yang memiliki standar CPOB.
Produk lain yang kini juga dikembangkan, karena yakin potensi pasarnya masih
besar, yaitu mi instan, permen kesehatan, dan minuman kesehatan dalam bentuk
cair.
Selain itu, dilakukan langkah-langkah untuk membangun
pasar secara vertikal. Jika selama ini jamu sering kali diidentikkan dengan kalangan
masyarakat di lapisan menengah bawah, kini dibangun citra bahwa jamu juga milik
kelompok masyarakat menengah atas.
Pencitraan itu dilakukan dengan mengubah konsep iklan,
yaitu menampilkan tokoh-tokoh yang menjadi "wakil" kelas menengah
atas, yaitu pengusaha Setiawan Djodi, pakar pemasaran Rhenal Kasali, dan
kelompok musik "Dewa". Usaha meningkatkan citra ini mendapat
penghargaan Anugerah Cakram tahun 2002 untuk pengiklan terbaik.
Berbagai penghargaan pun diraih, antara lain Kehati Award
tahun 2001, Bung Hatta Award tahun 2002 sebagai Perusahaan Teladan, Produk
terbaik dari ASEAN Food Conference ke-8, Penghargaan Merek Dagang Indonesia
tahun 2003, dan penghargaan dari Departemen Perhubungan dan Departemen Tenaga
Kerja sebagai pelaku bisnis peduli lingkungan, karena telah menyelenggarakan
program mudik lebaran gratis buat para pedagang jamu yang telah dilakukan sejak
tahun 1995.
Tidak hanya itu, tekadnya memperluas pasar dalam negeri
membuat Irwan dengan kemeja promosinya tidak segan-segan untuk terjun langsung
ke pasar menjumpai distributor, agen, bahkan pedagang jamu gendong atau pemilik
kios jamu untuk memasarkan produknya. Dalam satu bulan terakhir ini, tidak
kurang 7.000 orang telah ditemuinya untuk memasarkan produknya, dan hasilnya
tidak sia-sia. Dalam tiga bulan sejak produk minuman kesehatannya diluncurkan
telah terjual 16 juta bungkus, atau sekitar seperenam dari pasar minuman
kesehatan yang dikuasai oleh minuman sejenis yang lebih dahulu masuk ke pasar
dan memimpin pasar.
KINI ada 60 distributor tersebar di setiap kabupaten di
Pulau Jawa yang menjadi mitranya. Ditunjang oleh sekitar 150.000 pedagang jamu
gendong dan 300.000 depot jamu. "Kita itu butuh membangun networking.
Itu tidak bisa dilakukan kalau kita hanya duduk di dalam kantor, turun ke bawah
itu akan lebih menyentuh dan membuat ikatan lebih kuat", katanya.
Meski belum sepenuhnya sesuai dengan harapan, Irwan
mensyukuri kondisi perusahaan yang dipimpinnya bersama lima saudaranya itu jauh
lebih baik dari saat awal diwariskan kepada dirinya tahun 1972, perusahaan
keluarga ini dilimpahkan kepada dirinya dalam keadaan menanggung utang dan
hampir tanpa aset yang berarti.
"Utang bahan baku klau dihitung itu sekitar 30 bulan
omzet-nya, pabrik hanya 600 meter persegi, dan pekerjanya 100 orang tanpa punya
mesin satu pun," tuturnya tanpa bersedia memperinci berapa omzetnya
sekarang. "Tidak terlalu besar, tetapi lumayanlah bisa punya pabrik yang
cukup modern, laboratorium yang bagus, dan karyawan sudah 2.000 orang,"
ujarnya.
Sampai dengan tahun 1993, kondisi perusahaan belum
menunjukkan titi terang. Tetapi Irwan mencoba, dan terus mencoba. Tidak pernah
ada kata menyerah karena keyakinan bahwa setiap orang punya kesempatan.
"Matahari memang Cuma satu, tetapi yang bercahaya kan tidak cuma matahari,
jadi lilin pun bisa bercahaya," katanya.
Diakui, banyak kesalahan yang tidak perlu terjadi
dilakukannya hanya karena ketidaktahuannya. "Saya masih banyak melakukan
kesalahan yang tidak perlu. Tahun 1993 itulah saya mendapat pelajaran yang
berarti, justru dari orang-orang yang tan terduga, yaitu dari orang gila yang
dengan terus terang mengatakan jamu saya pahit, tidak enak, yang akhirnya
membuat saya berpikir keras bagaimana membuat jamu yang disukai.
Biro iklan yang menolak saya mengajarkan bawha bisnis itu
harus dengan hati nurani, dan tukang bajaj mengajarkan kepada saya bahwa kita
ini punya tanggung jawab sosial, beribalah dengan hati, bukan sekedar
kewajiban," katanya.
Pelajaran-pelajaran itu yang kemudian menjadi pedoman
Irwan dalam menjalankan perusahaannya. Berbisnis dengan hati nurani
diwujudkannya dengan selalu membina hubungan baik dengan supplier-nya,
memberikan upah yang layak kepada karyawannya, dan dalam mengembangkan networking
(jaringan kerja).
"Saya tidak setuju dengan upah minimum, saya lebih
suka kalau kita menetapkan upah yang layak. Karena dengan upah yang layak, kita
bsia meningkatkan produktivitas, dan itu akan banyak menghemat biaya, daripada
kita membayar dengan upah minimum, tetapi produktivitas rendah. Dan, yang
terpenting adalah kepercayaan, baik di internal maupun di eksternal. Kalau itu
bis akita jaga, semuanya akan lebih mudah," katanya.
Kini yang menjadi cita-cita Irwan adalah mengembangkan
industri jamu sebagai bagian dari pembangunan sistem kesehatan nasional. Untuk
itu, dia sedang merintis langkah untuk mendidik para pengobat, seperti halnya
China mengembangkan pengobatan tradisionalnya dengan mendidik para shines.
"Saya punya cita-cita ada pendidikan naturopath
di Indonesia. Sebenarnya Departemen Kesehatan bisa membantu ke arah sana, toh naturopath
ini bukan hal baru, sudah diakui keberadaannya, dan kita punya potensi bagus di
bidang ini," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar