"Belajar
dari cara Singapura memperlakukan Agama"
Sekitar
22 tahun silam Singapura melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah.
Hasilnya, penduduk negara itu paling tertib, disiplin, dan paling toleran antar
sesama warga, walau terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa, dan agama. Inilah
sebabnya maka Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menegaskan ahwa
pemerintahnya tidak akan mengijinkan pengajaran agama dimasukkan kembali ke
dalam kurikulum sekolah.
PM
Lee menegaskan bahwa 22 tahun silam, pemerintah di bawah kepemimpinan
ayahnya—Lee Kuan Yew—sudah menetapkan bahwa agama adalah urusan pribadi dan
bukan urusan sekolah. Keputusan ini diambil karena PM Lee Kuan Yew saat itu
melihat bahwa pengajaran agama yang dilakukan di sekolah-sekolah telah
menyebabkan penduduk semakin tercerai-berai dan bukan semakin bersatu membangun
negeri pulau itu.
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
PM
Lee Hsien Loong menegaskan kembali sikap ayahnya terhadap pengajaran agama ketika
ia tiba-tiba ditanyai tentang sikap pemerintahnya terhadap pengajaran agama di
sekolah. Pertanyaan itu datang dari seorang mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan
asal Sri Lanka. Ia meminta PM Lee menjelaskan tentang kabar bahwa Singapura
akan mengubah sikap terhadap pengajaran agama di sekolah. Terhadap pertanyaan
itu, PM Lee menjawab, “Kami telah menetapkan bahwa Singapura adalah sebuah
negara sekuler, karena itu maka agama merupakan suatu hal yang sebaiknya
dibiarkan berada dalam kawasan pribadi.
Surat
kabar Straits Times melaporkan bahwa dalam penjelasan yang disampaikan sebagai
bagian dari rangkaian peringatan hari nasional negara tersebut, PM Lee sangat
berhati-hati memilih kata-kata yang tepat untuk mempertahankan keseimbangan dan
persatuan di negara yang multietnis dan multiagama itu. Ia berpendapat bahwa
karena di Singapura ada banyak agama, maka urusan agama ditempatkan dalam
kawasan pribadi masing-masing warga negara, sementara pemerintah bertugas
menjaga keseimbangan melalui perangkat hukum yang tegas.
Pelajaran
agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah di Singapura pada 1984 dan waktu itu
setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih satu dari pelajaran agama yang
tersedia—yaitu Buddha, Islam, dan Kristen. Lima tahun kemudian, pemerintah
Singapura mencabut semua pelajaran agama tersebut dari kurikulum karena
terbukti bahwa pelajaran tersebut membuat para siswa semakin terpisah satu
dengan lainnya. Ada guru yang mengajari siswa untuk mengikuti agama tertentu
sehingga terjadi ketegangan di sekolah.
Sejak
saat itu, pemerintah melarang pendidikan agama di sekolah-sekolah. PM Lee
berpendapat bahwa melarang pelajaran agama di sekolah tidak akan menghambat
penduduk Singapura untuk menjalankan agamanya masing-masing. Sikap ini terbukti
benar. Singapura tidak lantas menjadi negara yang berpenduduk “kafir”.
Sebaliknya, Singapura kini dikenal sebagai negara yang memiliki integritas
tinggi di berbagai lini pergaulan antarbangsa.
Dalam
hal kualitas dan integritas, lulusan perguruan tinggi Singapura bisa diacungi jempol.
Dalam hal tatakelola pemerintahan, Singapura adalah negara paling bersih dan
akuntabel di peringkat dunia. Dalam hal penegakan hukum, Singapura juga bisa
dijadikan teladan karena hukumnya jelas dan konsistentidak tebang pilih. Hukum
di Singapura tidak ambiguous. Karena pemerintah menetapkan Singapura sebagai
negara bebas asap rokok, maka setiap bungkus rokok yang semuanya komoditas
impor itu diberi gambar-gambar yang mengerikan agar perokok menghindarinya.
Kesehatan
penduduk lebih penting daripada cukai rokok! Rakyat yang mati karena merokok
lebih berharga dari cukai yang masuk ke kantong pemerintah. Itu sebabnya di
setiap bungkus rokok ada gambar gusi berdarah-darah, paru-paru hancur, jantung
terbakar, mulut terbalut kanker, dan banyak gambar lain yang amat mengerikan
dan menjijikkan. Bahkan di kalangan terpelajar, perokok dianggap sebagai
manusia yang “kurang beradab” alias rendah derajatnya. Siapa pun yang membuang
puntung rokok sembarangan di jalan raya pasti dihukum.
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
Negara
yang secara tegas melarang pengajaran agama di sekolahnya itu telah berhasil
mempraktekkan nilainilai agama dalam kehidupan nyata, menjaga kesehatan sebagai
pemberian dari Tuhan Sang Pencipta, serta menjaga keharmonisan hidup bernegara
walau terdiri dari banyak suku bangsa dan agama. Padahal PM Lee secara amat
tegas katakan bahwa “Pemerintah tak boleh masuk ke kawasan agama dan agama tak
boleh masuk ke kawasan Pemerintah’”.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Inilah
satu-satunya negara di muka bumi yang memiliki Pancasila dengan “Ketuhanan yang
Maha Esa” sebagai sila pertama. Ribuan guru agama, ribuan lembaga keagamaan,
ribuan sekolah berbasis agama, dan ribuan bahkan jutaan buku-buku tentang agama
bertebaran di seantero negeri ini! Rumah-rumah ibadah kecil dan besar berada di
seluruh pelosok negeri, acara dan ritual keagamaan tak henti-hentinya menghiasi
kalender mingguan. Agama menjadi salah satu syarat mutlak yang dicantumkan
dalam kartu tanda penduduk. Bahkan agama dijadikan daya tarik sejumlah partai
politik—walau hal ini semakin tak laku dijual.
Menjelang
66 tahun merdeka, hasil apa yang dapat dipetik dari pengajaran agama di
sekolah-sekolah Indonesia? Amat banyak hasil positif, tentunya. Tapi hasil
negatif pun kian banyak dan memalukan. Korupsi, tipu daya, manipulasi,
akal-akalan – atau apa pun namanya – merebak di di berbagai lembaga yang
mestinya menjadi teladan dan simbol keberagamaan kita – mulai dari Kementerian
Agama sampai Kementerian Pendidikan Nasional, kepolisian, kejaksaan, pengadilan
negeri, Mahkamah Agung, bahkan – ini yang paling parah – DPR yang merupakan
lembaga terhormat itu dinyatakan sebagai lembaga terkorup di Indonesia!
Survey
Kemitraan memperlihatkan lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai
lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survey
yang diberitakan Metro TV tersebut menjelaskan bahwa korupsi legislatif sebesar
78%, eksekutif 32% dan yudikatif 70%. Survey 2010 ini dilakukan di 27 propinsi
di Indonesia. Target responden adalah anggota parlemen, masyarakat, kalangan
pemerintahan, akademisi, dan media massa.
“Yang
kami survey bukan orang sembarangan tapi orang-orang yang memang tahu dan paham
soal instansi yang disurvey,” ujar spesialis pendidikan dan pelatihan Proyek
Pengendalian Korupsi Indonesia, Laode Syarif.
Di
negeri ini orang taat beragama, kecuali bila berjumpa dengan proyek.
Bagaimana
menurut anda mengenai hal ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar