Rabu, 29 Oktober 2014

Belajar dari cara Singapura memperlakukan Agama


"Belajar dari cara Singapura memperlakukan Agama"

Sekitar 22 tahun silam Singapura melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah. Hasilnya, penduduk negara itu paling tertib, disiplin, dan paling toleran antar sesama warga, walau terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa, dan agama. Inilah sebabnya maka Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menegaskan ahwa pemerintahnya tidak akan mengijinkan pengajaran agama dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah.
PM Lee menegaskan bahwa 22 tahun silam, pemerintah di bawah kepemimpinan ayahnya—Lee Kuan Yew—sudah menetapkan bahwa agama adalah urusan pribadi dan bukan urusan sekolah. Keputusan ini diambil karena PM Lee Kuan Yew saat itu melihat bahwa pengajaran agama yang dilakukan di sekolah-sekolah telah menyebabkan penduduk semakin tercerai-berai dan bukan semakin bersatu membangun negeri pulau itu.
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
PM Lee Hsien Loong menegaskan kembali sikap ayahnya terhadap pengajaran agama ketika ia tiba-tiba ditanyai tentang sikap pemerintahnya terhadap pengajaran agama di sekolah. Pertanyaan itu datang dari seorang mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan asal Sri Lanka. Ia meminta PM Lee menjelaskan tentang kabar bahwa Singapura akan mengubah sikap terhadap pengajaran agama di sekolah. Terhadap pertanyaan itu, PM Lee menjawab, “Kami telah menetapkan bahwa Singapura adalah sebuah negara sekuler, karena itu maka agama merupakan suatu hal yang sebaiknya dibiarkan berada dalam kawasan pribadi.
Surat kabar Straits Times melaporkan bahwa dalam penjelasan yang disampaikan sebagai bagian dari rangkaian peringatan hari nasional negara tersebut, PM Lee sangat berhati-hati memilih kata-kata yang tepat untuk mempertahankan keseimbangan dan persatuan di negara yang multietnis dan multiagama itu. Ia berpendapat bahwa karena di Singapura ada banyak agama, maka urusan agama ditempatkan dalam kawasan pribadi masing-masing warga negara, sementara pemerintah bertugas menjaga keseimbangan melalui perangkat hukum yang tegas.
Pelajaran agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah di Singapura pada 1984 dan waktu itu setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih satu dari pelajaran agama yang tersedia—yaitu Buddha, Islam, dan Kristen. Lima tahun kemudian, pemerintah Singapura mencabut semua pelajaran agama tersebut dari kurikulum karena terbukti bahwa pelajaran tersebut membuat para siswa semakin terpisah satu dengan lainnya. Ada guru yang mengajari siswa untuk mengikuti agama tertentu sehingga terjadi ketegangan di sekolah.
Sejak saat itu, pemerintah melarang pendidikan agama di sekolah-sekolah. PM Lee berpendapat bahwa melarang pelajaran agama di sekolah tidak akan menghambat penduduk Singapura untuk menjalankan agamanya masing-masing. Sikap ini terbukti benar. Singapura tidak lantas menjadi negara yang berpenduduk “kafir”. Sebaliknya, Singapura kini dikenal sebagai negara yang memiliki integritas tinggi di berbagai lini pergaulan antarbangsa.
Dalam hal kualitas dan integritas, lulusan perguruan tinggi Singapura bisa diacungi jempol. Dalam hal tatakelola pemerintahan, Singapura adalah negara paling bersih dan akuntabel di peringkat dunia. Dalam hal penegakan hukum, Singapura juga bisa dijadikan teladan karena hukumnya jelas dan konsistentidak tebang pilih. Hukum di Singapura tidak ambiguous. Karena pemerintah menetapkan Singapura sebagai negara bebas asap rokok, maka setiap bungkus rokok yang semuanya komoditas impor itu diberi gambar-gambar yang mengerikan agar perokok menghindarinya.
Kesehatan penduduk lebih penting daripada cukai rokok! Rakyat yang mati karena merokok lebih berharga dari cukai yang masuk ke kantong pemerintah. Itu sebabnya di setiap bungkus rokok ada gambar gusi berdarah-darah, paru-paru hancur, jantung terbakar, mulut terbalut kanker, dan banyak gambar lain yang amat mengerikan dan menjijikkan. Bahkan di kalangan terpelajar, perokok dianggap sebagai manusia yang “kurang beradab” alias rendah derajatnya. Siapa pun yang membuang puntung rokok sembarangan di jalan raya pasti dihukum.
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
Negara yang secara tegas melarang pengajaran agama di sekolahnya itu telah berhasil mempraktekkan nilainilai agama dalam kehidupan nyata, menjaga kesehatan sebagai pemberian dari Tuhan Sang Pencipta, serta menjaga keharmonisan hidup bernegara walau terdiri dari banyak suku bangsa dan agama. Padahal PM Lee secara amat tegas katakan bahwa “Pemerintah tak boleh masuk ke kawasan agama dan agama tak boleh masuk ke kawasan Pemerintah’”.
Bagaimana dengan Indonesia?
Inilah satu-satunya negara di muka bumi yang memiliki Pancasila dengan “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Ribuan guru agama, ribuan lembaga keagamaan, ribuan sekolah berbasis agama, dan ribuan bahkan jutaan buku-buku tentang agama bertebaran di seantero negeri ini! Rumah-rumah ibadah kecil dan besar berada di seluruh pelosok negeri, acara dan ritual keagamaan tak henti-hentinya menghiasi kalender mingguan. Agama menjadi salah satu syarat mutlak yang dicantumkan dalam kartu tanda penduduk. Bahkan agama dijadikan daya tarik sejumlah partai politik—walau hal ini semakin tak laku dijual.
Menjelang 66 tahun merdeka, hasil apa yang dapat dipetik dari pengajaran agama di sekolah-sekolah Indonesia? Amat banyak hasil positif, tentunya. Tapi hasil negatif pun kian banyak dan memalukan. Korupsi, tipu daya, manipulasi, akal-akalan – atau apa pun namanya – merebak di di berbagai lembaga yang mestinya menjadi teladan dan simbol keberagamaan kita – mulai dari Kementerian Agama sampai Kementerian Pendidikan Nasional, kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, Mahkamah Agung, bahkan – ini yang paling parah – DPR yang merupakan lembaga terhormat itu dinyatakan sebagai lembaga terkorup di Indonesia!
Survey Kemitraan memperlihatkan lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survey yang diberitakan Metro TV tersebut menjelaskan bahwa korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan yudikatif 70%. Survey 2010 ini dilakukan di 27 propinsi di Indonesia. Target responden adalah anggota parlemen, masyarakat, kalangan pemerintahan, akademisi, dan media massa.
“Yang kami survey bukan orang sembarangan tapi orang-orang yang memang tahu dan paham soal instansi yang disurvey,” ujar spesialis pendidikan dan pelatihan Proyek Pengendalian Korupsi Indonesia, Laode Syarif.
Di negeri ini orang taat beragama, kecuali bila berjumpa dengan proyek.
Bagaimana menurut anda mengenai hal ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar